Mempercepat adopsi 4G, dengan menekan harga ponsel
By Ervina Anggraini December 18, 2015
- Studi menunjukkan tidak ada pengaruh harga maupun tingkat pendapatan terhadap keputusan membeli ponsel
- Ponsel pintar kini bukan sekedar alat komunikasi, tetapi telah menjadi alat produksi bagi masyarakat
KOMITMEN operator untuk menyediakan akses data 4G di Indonesia diharapkan sejalan dengan ketersediaan perangkat yang mendukung teknologi tersebut.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk meningkatkan adopsi teknologi 4G, yang rupanya saat ini masih sebesar 2 persen dari total 335 juta pelanggan operator.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara berharap semakin banyak perangkat yang dipasarkan seharga Rp1 jutaan agar bisa mendorong percepatan adopsi 4G. Dengan demikian pengguna ponsel 2G akan mampu beralih ke teknologi generasi keempat.
“Saat ini memang harga handset 4G masih tinggi, tapi dari sisi pemerintah kami akan mendorong produsen untuk membuat ponsel dengan harga di bawah Rp2 juta sehingga terjangkau oleh semua kalangan,” kata Rudiantara saat konferensi media di kantornya di Jakarta pekan lalu.
Menurut Rudi masyarakat Indonesia menjadikan ponsel bukan sekedar konsumsi, tetapi sudah menjadikannya sebagai alat produksi bahkan pendorong pertumbuhan ekonomi. Sejumlah usaha skala rumahan dipasarkan melalui aplikasi dan layanan yang tersedia dalam sebuah ponsel pintar.
Senada dengan Rudiantara, ketua umum Masyarakat Telematika (Mastel) Kristiono menegaskan jika ponsel pintar kini sudah menjadi alat produksi bagi masyarakat.
Teknologi pintar dalam ponsel memungkinkan masyarakat meningkatkan kualitas hidup dan akses informasi serta peluang bisnis menjadi lebih mudah.
“Mengingat arti penting smartphone sebagai kebutuhan bagi masyarakat, untuk itu akses kepemilikan jangan dihambat. Kalau bisa berikan akses untuk ponsel pintar dengan harga yang terjangkau bagi semua kalangan,” tandas Kristiono (gambar di bawah).
Pembatasan akses kepemilikan ponsel pintar yang dimaksud Kristiono terkait dengan wacana pemberlakuan Pajak Penjualan atas Barang Mewan (PPnBM) yang tengah digodok oleh Kementerian Keuangan.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia (LPEM UI) dan Mastel menunjukkan sebagian besar masyarakat menilai ponsel pintar bukan bawang mewah, tetapi sebuah kebutuhan.
Dalam temuannya, LPEM FEUI mendapati 84 responden yang diwawancara menyatakan membeli ponsel atas dasar kebutuhan, bukan karena memandangnya sebagai barang mewah.
Aturan PPnBM pada ponsel mengada-ada
Ketidaksetujuan wacana penerapan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) bukan hanya dicetuskan oleh peneliti dan organisasi kemasyarakatan saja.
enkominfo Rudiantara menilai, wacana kebijakan tersebut juga berpotensi membawa dampak negatif ke berbagai hal.
Ketidaksetujuan Rudi sejalan dengan temuan LPEM FEUI yang menunjukkan tidak adanya pengaruh harga maupun tingkat pendapatan terhadap keputusan masyarakat saat membeli ponsel.
Perhitungan regresi yang dilakukan juga menunjukkan bahwa keputusan membeli ponsel tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor sosial seperti gaya hidup atau gengsi.
Dendi Ramdani, dari LPEM FEUI mengatakan jika dipandang dari sudut kontribusi smartphone terhadap perekonomian makro negara, hasil kajian menyimpulkan bahwa setiap pengguna smartphone mampu memberikan nilai tambah ekonomi sebesar Rp 1.728.000.
Selanjutnya kenaikan jumlah pengguna telepon seluler sebesar 1% akan meningkatkan PDB sebesar 0,005%.
“Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pengguna telepon seluler memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 5,5%,” pungkas Dendi.
Hasil temuan studi ini menggarisbawahi fungsi smartphone sudah melampaui sekadar alat berkomunikasi, tetapi sebagai penunjang produktivitas kerja melalui beragam fasilitas data traffic yang memungkinkan pemiliknya menggunakan berbagai macam aplikasi.
Sebagai contoh, kajian pengenaan PPnBM pada smartphone yang sempat diajukan pemerintah baru-baru ini dinilai berpotensi menimbulkan dampak terhadap penurunan PDB sebesar 0,25% dan menimbulkan penggangguran baru, serta menurunkan potensi penerimaan pajak gabungan.
Potensi penerimaan pajak justru akan berkurang dikarenakan dampak penurunan aktivitas ekonomi terutama di sektor perdagangan dan industri kreatif.
Dendi menambahkan, berdasarkan riset LPEM UI, jika PPnBM diberlakukan pada smartphone, maka bisa berpotensi menurunkan output sektor-sektor lain ada sektor ICT sendiri dan berdapak pada perekonomian.
Penerapan PPnBM juga berpotensi menyebabkan ekosistem ekonomi digital tidak berfungsi sepenuhnya.
Terkait dengan aturan yang dianggap mengada-ada oleh pelaku industri ICT, Menkominfo Rudiantara mengaku sudah berbicara dengan Badan Kebijakan Fiskal terkait PPnBM di smartphone.
“Saya bilang tolong dibantu. Posisi saya akan jalan terus. Hasil dari sini (studi LPEM UI-red.) PPnBM tak harus diberlakukan untuk ponsel,” ujarnya.
Pria yang kerap disapa Chief RA ini juga mengatakan, ia masih berdiskusi dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro soal batas harga ponsel mewah yang bakal kena pajak PPnBM.
“Menkeu minta (untuk ponsel yang harganya) Rp8 juta. Tapi saya minta USD1.000 (atau di kisaran Rp12-13 juta). Cuma kan pemikirannya mereka itu uang. Salahnya di sektor TIK, belanja iklannya itu nomor dua. Menunjukkan kalau kaya.
“Nah kalau kaya makanya bayar pajak. Karena hanya orang yang kaya yang bisa pasang iklan besar-besaran,” katanya.
Seperti diketahui, pihak Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan menangguhkan rencana pemberlakukan aturan pengenaan PPnBM pada ponsel pintar.
Dalam kaitannya menekan angka impor ponsel pintar, sejumlah kementerian fokus pada rencana pemberlakuan aturan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri).
Aturan yang rencananya akan diberlakukan pada 2017 ini tengah digodok, sehingga nantinya produsen harus menyertakan 30 persen kandungan lokal dalam beberapa skema. Yakni berupa gabungan hardware dan software atau hanya salah satu diantara keduanya.
Aturan ini juga diharapkan mampu menekan angka impor ponsel terutama melalui jalur blackmarket yang dapat menurunkan harga jual ponsel yang beredar secara resmi.
“Pemberlakuan TKDN ini bertujuan untuk menekan jumlah impor ponsel ke Indonesia yang nilai mencapai 60 juta unit di tahun 2014,” ucapnya.
Dengan begitu, harga jual ponsel pintar akan lebih murah karena ada 30% kandungan lokal dalam ponsel yang di jual di pasaran. Pertumbuhan ponsel pintar berbasis 4G pun diprediksi akan lebih cepat dibandingkan teknologi 3G.
Harga ponsel terjangkau percepat adopsi teknologi
Sejalan dengan rencana pemerintah mempercepat adopsi teknologi 4G dan meningkatkan produktivitas masyarakat, riset yang dilakukan oleh Ericsson mobility menyebut, langkah pemerintah sudah tepat dalam menghadapi tren kedepan.
Rencana penerapkan kebijakan TKDN dan menyikapi wacana pemberlakukan PPnBM diprediksi akan mempengaruhi adopsi ponsel pintar berbasis 4G yang pada tahun 2018 diprediksi mencapai 40 persen dari total perangkat yang beredar di dunia.
“Salah satu alasan kenapa bisa secepat itu karena barrier di handset tidak seperti saat tren 3G yang harga ponselnya lebih mahal sehingga adopsi 4G lebih gampang,” kata head of country unit Ericsson Indonesia dan Timor Leste Thomas Jul (gambar) saat ditemui di kesempatan terpisah.
Faktor lain yang juga mempercepat adopsi ponsel pintar dan peningkatan akses data disebut Thomas, yakni perpindahan penduduk dari daerah ke perkotaan.
Di tahun 2021 diprediksi akan ada 8 miliar pelanggan broadband di seluruh dunia dan 85 persen diantaranya memanfaatkan jaringan mobile broadband.
Sementara di Indonesia sendiri pada 2018 diprediksi pertumbuhan pelanggan LTE akan mencapai 350 juta. Penetrasi ponsel pintar akan tumbuh hingga 56 persen dalam waktu tiga tahun kedepan menjadi faktor utama percepatan adopsi teknologi generasi keempat tersebut.
Dari sisi regulator, Rudiantara mengaku pemerintah berpikir sederhana dalam menyikapi prediksi cepatnya adopsi 4G di masyarakat.
Rudi menyebut salah satu langkah yang dilakukan, yakni memikirkan cara untuk menurunkan harga ponsel serendah-rendahnya hingga bisa terjangkau daya beli masyarakat.
“Dalam tiga tahun kedepan bagaimana caranya agar ponsel 4G ada di level Rp 600 ribuan. Pokoknya 3 tahun kedepan harga handset 4G setara dengan harga ponsel fitur di 3 tahun lalu,” ucapnya.
Selain mendorong produsen membuat ponsel pintar di bawah harga Rp 1 juta, ia juga tidak menghalangi jika pilihan produsen ada pada mutu atau harga.
Perangkat yang menawarkan spesifikasi tinggi tentu dibanderol dengan harga mahal, begitu pula sebaliknya karena pasar untuk kedua segmen tersebut berbeda.
Menyikapi upaya pemerintah dalam mendorong harga jual ponsel 4G dikisaran Rp 1 jutaan, CEO Axioo Samuel Lawrence menyebut, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Namun untuk saat ini, hal tersebut masih belum bisa disanggupi oleh produsen lokal seperti Axioo.
“Saat ini segmen kelas menengah merupakan yang paling besar, karena kalau melihat kelas bawah dengan harga yang terjangkau tentu ada keterbatasan pada perangkatnya terutama dalam hal fitur dan software pendukung,” tandas Samuel.
Meski mengaku perusahaan yang dinakhodainya fokus pada kelas menengah yang menjadi pasar potensial, namun ia memastikan tidak menutup kemungkinan untuk merilis ponsel seperti yang diwacanakan pemerintah.
Mengingat ekosistem 4G saat ini tengah tumbuh dan perangkat dengan harga kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta dianggap sudah sesuai dengan daya beli masyarakat.
“Kami memang ada wacana kesitu (membuat ponsel di harga kurang dari Rp 1 juta-red), tetapi tidak tahun ini. Kemungkinan tahun depan. Hal itu bukan karena faktor nilai tukar Rupiah, tetapi karena kami melihat adanya pengaruh penurunan teknologi dalam kurun waktu satu hingga tiga tahun kedepan,” ucapnya.
Artikel Terkait:
Digitalisasi UKM melalui pemanfaatan aplikasi ponsel
Sambut era 4G, Kominfo keluarkan aturan berbagi infrastruktur
Adopsi 5G di Indonesia harus dipersiapkan dengan matang
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.